Bulan Rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan
sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksudnya, saat itu manusia
dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan
terdesak. [1]
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ
الْحَرَامَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah ,
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram …” (QS. Al Maidah (95): 2)
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang
tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum
(bulan-bulan haram) adalah dzul qa’dah, dzul hijjah, rajab, dan muharam. (Sunan
At Tirmidzi No. 1512)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة
والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان”.
“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal
adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh
kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)
Dinamakan Rajab karena itu adalah bulan untuk yarjubu, yakni Ya’zhumu
(mengagungkan), sebagaimana dikatakan Al Ashmu’i, Al Mufadhdhal, dan Al Farra’.
(Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif, Hal. 117. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Banyak manusia meyakini bulan Rajab sebagai bulan untuk memperbanyak ibadah,
seperti shalat, puasa, dan menyembelih hewan untuk disedekahkan. Tetapi,
kebiasaan ini nampaknya tidak didukung oleh sumber yang shahih. Para ulama
hadits telah melakukan penelitian mendalam, bahwa tidak satu pun riwayat shahih
yang menyebutkan keutamaan shalat khusus, puasa, dan ibadah lainnya pada bulan
Rajab, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dan Syaikh
Yusuf Al Qaradhawi. Benar, bulan Rajab adalah bulan yang agung dan mulia,
tetapi kita tidak mendapatkan hadits shahih tentang rincian amalan khusus pada
bulan Rajab. Wallahu A’lam
Sebagai contoh:
“Sesungguhnya di surga ada sungai bernama Rajab, airnya lebih putih dari susu
dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpuasa Rajab satu hari
saja, maka Allah akan memberikannya minum dari sungai itu.” (Status hadits:
BATIL. Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 1898)
“ Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak: awal malam pada bulan Rajab,
malam nishfu sya’ban, malam Jumat, malam idul fitri, dan malam hari raya qurban.”
(Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 1452)
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan
umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)
“Dinamakan Rajab karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan
(yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As
Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)
Dan masih banyak lagi yang lainnya, seperti shalat raghaib (12 rakaat) pada
hari kamis ba’da maghrib di bulan Rajab (Ini ada dalam kitab Ihya Ulumuddin-nya
Imam Al Ghazali. Segenap ulama seperti Imam An Nawawi mengatakan ini adalah
bid’ah yang buruk dan munkar, juga Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Nuhas, dan
lainnya mengatakan hal serupa).
Walau demikian, tidak berarti kelemahan semua riwayat ini menunjukkan larangan
ibadah-ibadah secara global. Melakukan puasa, sedekah, memotong hewan untuk
sedekah, dan amal shalih lainnya adalah perbuatan mulia, kapan pun
dilaksanakannya termasuk bulan Rajab (kecuali puasa pada hari-hari terlarang
puasa).
Tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa senin kamis dan ayyamul
bidh (tanggal 13,14,15 bulan hijriah), sebab ini semua memiliki perintah secara
umum dalam syariat. Tidak mengapa sekedar memotong hewan untuk disedekahkan,
yang keliru adalah meyakini dan MENGKHUSUSKAN ibadah-ibadah ini dengan fadhilah
tertentu yang hanya bisa diraih di bulan Rajab, dan tidak pada bulan lainnya.
Jika seperti ini, maka membutuhkan dalil shahih yang khusus, baik Al Quran atau
As Sunnah.
Sementara itu, mengkhususkan menyembelih hewan (istilahnya Al ‘Atirah) pada
bulan Rajab, telah terjadi perbedaan pendapat di dalam Islam. Imam Ibnu Sirin
mengatakan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk Bashrah, juga Imam Ahmad
bin Hambal sebagaimana yang dikutip oleh Hambal. Tetapi mayoritas ulama
mengatakan bahwa hal itu adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapuskan oleh
Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits
shahih: “Tidak ada Al Fara’ dan Al ‘Atirah.” (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al
Ma’arif Hal. 117)
Namun, jika sekedar ingin menyembelih hewan pada bulan Rajab, tanpa
mengkhususkan dengan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa
dilakukan. Karena Imam An Nasa’i meriwayatkan, bahwa para sahabat berkata
kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, dahulu ketika jahiliyah kami biasa
menyembelih pada bulan Rajab?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
اذبحوا لله في أي شهر كان
“Menyembelihlah karena Allah, pada bulan apa saja.” (HR. An Nasa’i, hadits ini
shahih. Lihat Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/208)
Benarkah Isra Mi’raj Terjadi Tanggal 27 Rajab?
Ada pun tentang Isra’ Mi’raj, benarkah peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab?
Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab: Wallahu A’lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para
ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada
yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan
atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan
pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al
Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi’ul Awal. (Ibid Hal. 95).
Beliau juga berkata:
و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله
عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس
والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء
بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي
وغيره
“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan
itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam
27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih.
Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad
bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam
ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al
Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah
dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa
Isra’ Mi’raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua
riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.
Adakah Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya’ban dan Ramadhan?
Tidak ditemukan riwayat yang shahih tentang ini. Ada pun doa yang tenar
diucapkan manusia yakni: Allahumma Bariklana fi rajaba wa sya’ban, wa ballighna
ramadhan, adalah hadits dhaifi (lemah).
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
jika masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa
Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.” (Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab
dan Sya’ban wa Berkahilah kami di bulan Ramadhan). (HR. Ahmad, No. 2228. Ath
Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa
Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3654)
Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah Al Mashabih, No. 1369). Apa
yang menyebabkan kelemahan riwayat hadits ini? Jawabnya silahkan lihat di
catatan kaki.[2]
2. Bulan Sya’ban dan Keutamaannya
Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk
banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول لا يفطر، ويفطر حتى نقول لا يصوم،
فما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر إلا رمضان، وما رأيته أكثر
صياما منه في شعبان.
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa sehingga kami
mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka sampai kami mengatakan dia
tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menyempurnakan puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya
tidak pernah melihat dia berpuasa melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.”
(HR. Bukhari No. 1868)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga, katanya:
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا
أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah berpuasa dalam satu bulan
melebihi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1869)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
شعبان بين رجب ورمضان يغفل الناس عنه ترفع فيه أعمال العباد فأحب أن لا يرفع عملي
إلا وأنا صائم
“Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang
melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat, maka aku suka jika amalku
diangkat ketika aku sedang puasa.” (HR. An Nasai, 1/322 dalam kitab Al Amali.
Status hadits: Hasan (baik). Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1898. Lihat
juga Tamamul Minnah Hal. 412. DarAr Rayyah)
Adakah Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban?
Ya, sebagamana diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, bahwa Beliau bersabda:
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه
إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban,
maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau
pendengki.” (Hadits ini Shahih menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni
oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin
Malik, dan ‘Aisyah. Lihat kitab As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144.
Darul Ma’arif. Juga kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al
Maktab Al Islami. Namun, dalam kitab Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al
Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang benar adalah shahih
karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)
Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu sya’ban (malam ke 15 di bulan
Sya’ban), yakni saat itu Allah mengampuni semua makhluk kecuali yang
menyekutukanNya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum muslimin mengadakan
ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca Al Quran, dan ini
pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in.. Tetapi, dalam hadits ini –juga hadits
lainnya- sama sekali tidak disebut adanya ibadah khusus tersebut pada malam
itu, baik shalat, membaca Al Quran, atau lainnya. Oleh, karena itu, wajar pula
sebagian kaum muslimin menganggap itu adalah hal yang bid’ah (mengada-ngada
dalam agama). Sebenarnya membaca Al Quran, Shalat malam, memperbanyak zikir
pada malam nishfu sya’ban adalah perbuatan baik, dan merupakan pengamalan dari
hadits di atas, namun yang menjadi ajang perdebatan adalah tentang ‘cara’nya,
apakah beramai-ramai ke masjid lalu di buat paket acara secara khusus, atau
melakukannya secara sendirian baik di rumah atau masjid dengan acara yang tidak
baku dan tidak terikat.
Berikut adalah Fatwa Para ulama tentang acara ritual Nishfu Sya’ban:
1. Imam An Nawawi (bermadzhab syafi’i)
Beliau Rahimahullah memberikan komentar tentang mengkhususkan shalat pada malam
nishfu sya’ban, sebagai berikut:
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة
أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران
قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث
المذكور فيهما فان كل ذلك باطل
“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12
rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat
pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua
shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya
disebutkan dalam kitab Qutul Qulub[3] dan Ihya Ulumuddin[4], dan tidak ada satu
pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.”
Demikian komentar Imam An Nawawi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/379. Dar
‘Alim Al Kitab)
2. Syaikh ‘Athiyah Saqr (Mufti Mesir)
Beliau Rahimahullah ditanya apakah ada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengadakan acara khusus pada malam nishfu sya’ban?
Beliau menjawab (saya kutip secara ringkas):
ثبت أن الرسول عليه الصلاة والسلام احتفل بشهر شعبان ، وكان احتفاله بالصوم ، أما
قيام الليل فالرسول عليه الصلاة والسلام كان كثير القيام بالليل فى كل الشهر،
وقيامه ليلة النصف كقيامه قى أية ليلة .
ويؤيد ذلك ما ورد من الأحاديث السابقة وإن كانت ضعيفة فيؤخذ بها فى فضائل الأعمال
، فقد أمر بقيامها ، وقام هو بالفعل على النحو الذى ذكرته عائشة .
وكان هذا الاحتفال شخصيا، يعنى لم يكن فى جماعة ، والصورة التى يحتفل بها الناس
اليوم لم تكن فى أيامه ولا فى أيام الصحابة ، ولكن حدثت فى عهد التابعين . يذكر
القسطلانى فى كتابه “المواهب اللدنية”ج 2 ص 259 أن التابعين من أهل الشام كخالد بن
معدان ومكحول كانوا يجتهدون ليلة النصف من شعبان فى العبادة ، وعنهم أخذ الناس
تعظيمها ، ويقال أنهم بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية . فلما اشتهر ذلك عنهم اختلف
الناس ، فمنهم من قبله منهم ، وقد أنكر ذلك أكثر العلماء من أهل الحجاز، منهم عطاء
وابن أبى مليكة، ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة ، وهو قول
أصحاب مالك وغيرهم ، وقالوا : ذلك كله بدعة، ثم يقول القسطلانى :
اختلف علماء أهل الشام فى صفة إحيائها على قولين ، أحدهما أنه يستحب إحياؤها جماعة
فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم
ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على
ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى
مسائله . والثانى أنه يكره الاجتماع فى المساجد للصلاة والقصص والدعاء ، ولا يكره
أن يصلى الرجل فيها لخاصة نفسه ، وهذا قول الأوزاعى إمام أهل الشام وفقيههم
وعالمهم .
“Telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau
melakukan kegiatan pada bulan Sya’ban yakni berpuasa. Sedangkan qiyamul
lail-nya banyak beliau lakukan pada setiap bulan, dan qiyamul lailnya pada
malam nisfhu sya’ban sama halnya dengan qiyamul lail pada malam lain. Hal ini
didukung oleh hadits-hadits yang telah saya sampaikan sebelumnya, jika hadits
tersebut dhaif maka berdalil dengannya boleh untuk tema fadhailul ‘amal
(keutamaan amal shalih), dan qiyamul lailnya beliau sebagaimana disebutkan
dalam hadits dari ‘Aisyah yang telah saya sebutkan. Aktifitas yang dilakukannya
adalah aktifitas perorangan, bukan berjamaah. Sedangkan aktifitas yang
dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada pada masa Rasulullah, tidak pernah
ada pada masa sahabat, tetapi terjadi pada masa tabi’in.
Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal.
259), bahwa tabi’in dari negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan, dan Mak-hul,
mereka berijtihad untuk beribadah pada malam nishfu sya’ban. Dari merekalah
manusia beralasan untuk memuliakan malam nishfu sya’ban. Diceritakan bahwa
telah sampai kepada mereka atsar israiliyat [5] tentang hal ini. Ketika hal
tersebut tersiarkan, maka manusia pun berselisih pendapat, maka di antara
mereka ada yang mengikutinya. Namun perbuatan ini diingkari oleh mayoritas
ulama di Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari Abdurrahman
bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga menolaknya, yakni para sahabat
Imam Malik dan selain mereka, lalu mereka mengatakan: “Semua itu bid’ah!”
Kemudian Al Qasthalani berkata: “Ulama penduduk Syam[6] berbeda pendapat
tentang hukum menghidupkan malam nishfu sya’ban menjadi dua pendapat: Pertama,
dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid., Khalid bin
Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus,
memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat.
Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat
berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb Al
Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini. Kedua, bahwa dibenci
(makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan berdoa pada malam itu,
namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya sendiri saja. Inilah pendapat Al
Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli fiqih)-nya mereka dan ulamanya
mereka.” Selesai kutipan dari Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah. (Fatawa Al
Azhar, Juz. 10, Hal. 131. Syamilah)
3. Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
Beliau menjelaskan tentang hukum mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu
Sya’ban:
ومن البدع التي أحدثها بعض الناس: بدعة الاحتفال بليلة النصف من شعبان، وتخصيص
يومها بالصيام، وليس على ذلك دليل يجوز الاعتماد عليه، وقد ورد في فضلها أحاديث
ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها، أما ما ورد في فضل الصلاة فيها فكله موضوع، كما نبه
على ذلك كثير من أهل العلم، وسيأتي ذكر بعض كلامهم إن شاء الله. وورد فيها أيضًا
آثار عن بعض السلف من أهل الشام وغيرهم. والذي عليه جمهور العلماء: أن الاحتفال
بها بدعة، وأن الأحاديث الواردة في فضلها كلها ضعيفة وبعضها موضوع، وممن نبه على
ذلك الحافظ ابن رجب في كتابه [لطائف المعارف] وغيره، والأحاديث الضعيفة إنما يعمل
بها في العبادات التي قد ثبت أصلها بأدلة صحيحة، أما الاحتفال بليلة النصف من
شعبان فليس له أصل صحيح حتى يستأنس له بالأحاديث الضعيفة.
“Dan di antara bid’ah yang di ada-adakan manusia pada malam tersebut adalah:
bid’ahnya mengadakan acara pada malam nishfu sya’ban, dan mengkhususkan siang
harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada dasarnya yang bisa dijadikan pegangan
untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang keutamaannya
adalah dha’if dan tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan, sedangkan
hadits-hadits tentang keutamaan shalat pada malam tersebut, semuanya adalah
maudhu’ (palsu), sebagaimana yang diberitakan oleh kebanyakan ulama tentang
itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian ucapan mereka, dan juga
atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam dan selain mereka.
Jumhur (mayoritas) ulama berkata: sesungguhnya acara pada malam itu adalah
bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita tentang keutamaannya adalah dha’if dan
sebagiannya adalah palsu. Di antara ulama yang memberitakan hal itu adalah Al
Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya. Ada pun
hadits-hadits dha’if hanyalah bisa diamalkan dalam perkara ibadah, jika ibadah
tersebut telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih, sedangkan acara pada
malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih, melainkan ‘ditundukkan’
dengan hadits-hadits dha’if.” (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah
wal Ifta’, 4/281) Sekian kutipan dari Syaikh Ibnu Baz.
Larangan Pada Bulan Sya’ban
Pada bulan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada
yaumusy syak (hari meragukan), yakni sehari atau dua hari menjelang Ramadhan.
Maksud hari meragukan adalah karena pada hari tersebut merupakan hari di mana
manusia sedang memastikan, apakah sudah masuk 1 Ramadhan atau belum, apakah
saat itu Sya’ban 29 hari atau digenapkan 30 hari, sehingga berpuasa sunah saat
itu amat beresiko, yakni jika ternyata sudah masuk waktu Ramadhan, ternyata dia
sedang puasa sunah. Tentunya ini menjadi masalah.
Dalilnya, dari ‘Ammar katanya:
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat kepada
Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari, Bab
Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza Ra’aytumuhu fa shuumuu)
Para ulama mengatakan, larangan ini adalah bagi orang yang mengkhususkan
berpuasa pada yaumusy syak saja. Tetapi bagi orang yang terbiasa berpuasa,
misal puasa senin kamis, puasa Nabi Daud, dan puasa sunah lainnya, lalu dia
melakukan itu bertepatan pada yaumusy syak , maka hal ini tidak dilarang
berdasarkan riwayat hadits berikut:
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa sehari atau
dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya,
maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No. 1815)
4. Bulan Ramadhan dan Keutamaannya
Ini adalah bulan agung yang pling banyak dinantikan oleh seluruh umat Islam.
Banyak keutamaan yang diterangkan dalam Al Quran dan As Sunah tentang bulan
ini. Sebagaian di antaranya:
-Bulan diturunkannya Al Quran
Allah Ta’ala berfirman:
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)…” (QS. Al Baqarah (2): 185)
-Bulan Terdapat Lailatul Qadar (malam kemuliaan)
Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan, dan
tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? malam kemuliaan itu lebih baik dari
seribu bulan. (QS. Al Qadr (97) : 1-3)
- Shalat pada malam Lailatul Qadar menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه
”Barang siapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman dan
ihtisab (mendekatkan diri kepada Allah) , maka akan diampuni dosa-dosanya yang
lalu.” (HR. Bukhari No. 35, 38, 1802)
- Shalat malam (tarawih) Pada Bulan Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ.
”Barang siapa yang shalat malam pada Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka
akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37 1904, 1905)
- Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
”Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni
dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802)
Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa
besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah
palsu, dan lainnya- hanya bias dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan
menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali. Hal
ini juga ditegaskan oleh hadits berikut ini.
- Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب
الكبائر
“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan,
merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar.”
(HR. Muslim No. 233)
- Dibuka Pintu Surga, Dibuka pinta Rahmat, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan
dibelenggu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ
النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين
”Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu
neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. Muslim No. 1079)
Dalam hadits lain:
إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين
”Jika bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu rahmat, ditutup pintu-pintu
neraka dan syetan dirantai.” (HR. Muslim No. 1079)
Demikianlah keutamaan bulan Ramadhan dan keutamaan ibadah di dalamnya, yang
ditegaskan dalam Al Quran dan hadits-hadits yang shahih. Sedangkan cerita dari
mulut ke mulut, dari khathib ke khathib, dan dari buku ke buku, bahwa:
- Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya Ramadhan maka diharamkan masuk
ke neraka.
- Tidurnya orang puasa adalah ibadah (Naumush Shaim ‘Ibadah)
- Sepuluh hari pertama Ramadhan adalah rahmat, yang kedua adalah maghfirah, dan
yang ketiga adalah dijauhkan dari api neraka.
- Keutamaan tarawih malam pertama adalah begini, malam kedua adalah begitu
..dst.
Hadits-hadits ini adalah dhaif (lemah), bahkan ada yang munkar dan palsu. Dan
masih banyak hadits-hadits dhaif seputar Ramadan dan puasa yang beredar di
masyakarat, dan ini hanyalah contoh.
Sedangkan, hadits-hadits yang menyebutkan:
- Bau mulut orang puasa lebih Allah cintai dibanding minyak kesturi
- Barangsiapa yang berpuasa fi sabilillah maka akan dijauhkan wajahnya dari api
neraka sejauh 70 tahun perjalanan
- Setiap amal anak adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa, dia adalah
untukKU, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri
- Disediakan bagi orang puasa pintu surga bernama Ar Rayyan.
Hadits-hadits ini semuanya adalah shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Tetapi, hadits-hadits ini tidak bicara tentang puasa Ramadhan secara khusus,
melainkan juga bagi orang berpuasa walau pun di bulan lain secara umum.
Wallahu A’lam
[1] Sebagian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada
bulan-bulan haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh (direvisi)
secara hukum oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian
menjumpainya ….”. Sementara, ahli tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat ini
tidak mansukh, sehingga larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku kecuali
darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa
ayat ini mansukh (direvisi) hukumnya. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub
Al ‘Ilmiyah) Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan
haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelaranagn hanya terjadi pada
awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)
[2] Kelemahan hadits ini, karena dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi
Ruqad dan Ziyad an Numairi.
Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.”
(haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri
mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad
dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)
Imam Abu Daud berkata: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i
dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan
dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.”(Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut
Tahdzib, Juz. 3, Hal. 263)
Sedangkan tentang Ziyad An Numairi, berkata Imam Al Haitsami tentang Ziyad an
Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az
Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah) )
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad
hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan
tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata
tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1,
Hal. 306)
Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.”
(Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536). Demikian
[3] Kitab tasawwuf yang ditulis oleh Syaikh Abu Thalib Muhammad bin Ali bin
‘Athiyah Al Haritsi Al Makki
[4] Kitab tasawwuf yang sangat terkenal yang ditulis oleh Imam Al Ghazali Ath
Thusi
[5] Atsar Israiliyat adalah berita atau riwayat yang berasal dari kisah-kisah
orang Bani Israel yang menyusup ke dalam kitab-kitab dan keyakinan umat Islam.
Statusnya, tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), walau memiliki hikmah yang
baik.
Copas artikel fb