Taqlid adalah mengikuti pendapat manusia
tanpa mengetahui hujahterhadap kebenaran pendapat itu. Kebolehan mengikuti
pendapat mereka dengan syarat jika mereka memiliki kapasitas dan kemampuanuntuk
mengetahui hujah yang ada dalam suatu dalil dan terpenuhinya syarat-syarat
seorang mujtahid.
Manusia mukallaf, dalam memahami nash-nash hukum terbagi kepada dua yaitu
mujtahid dan muqollid. Mujtahid adalah seseorang yang mampu memahami dan
mengkaji hukum dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan sunah, sedangkan muqollid
adalah mereka yang tidak mampu mengkaji hukum secara lansung dari al-Quran dan
sunah, akan tetapi mereka mengikuti apa yang telah dikaji oleh ulama-ulama
mujtahid. Kadang-kadang seorang muqollid mengetahui dalil dari hujah yang
digunakan oleh seorang mujtahid dalam satu permasalahan, namun ia tidak mampu
mengolah dalil tersebut, sebagaimana Imam as-Saytibi membagi manusia mukallaf
kepada tiga yaitu mujtahid, muqollid dan muqollid yang mengetahui dalil.
Namun sangat kita sayangkan, kalimat taqlid ini telah mendapatkan kesan negatif
di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena ketidak pahaman mereka yang
mengingkari bermazhab dengan menyamaratan semua bentuk ketaqlidan. Tapi itu
wajar, karena pada asalnya mereka memang mengingkaribertaqlid kepada imam-imam
mazhab.
Namun sebenarnya ada dua macam taqlid dalam islam yaitu yang dibolehkan dan
bahkan diwajibkan, sebagaimana taqlid seorang awam kepada imam yang empat
dan taqlid yang diharamkan seperti mengingkari apa yang diturunkan Allah SWT
karena mengikuti nenek moyang, seperti yang dilakukan orang-orang kafir Qurais
dulunya yang mengingkari al-Quran dan kerasulan Rasulullah saw hanya karena
mereka takut kehilangan jabatan dan taqlid buta padanenekmoyang.
Semua ini mesti kita luruskan dan kita jelaskan, taqlid kepada al-Imam
al-Arba'ah merupakan sebuah kewajiban bagi orang awam dalam memahami sebuah
permasalahan dalam al-Quran dan sunah. Seseorang dikatakan awam karena mereka
tidak memiliki kapasitas untuk mengolah dan memahami isi al-Quran dan sunah.
Kalau mampu memahami isi dua asas islam ini, tentu ia bukan lagi dikatakan
orang awam, namun ia adalah seorang mujtahid.
Berikut ini diantara dalil wajibnya seorang yang awam taqlid kepada Imam yang
empat dalam memahami sebuah persoalan yang ada dalam al-Quran dan sunah:
Dalil Pertama: Al -Quran
1. Firman Allah SWT:
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النحل : 43)
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang
memiliki ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui ( An Nahal : 43)
Ulama telah menyepakati bahwasanya ayat ini
merupakan perintah bagi orang awam untuk bertanya kepada orang yang mengetahui
hukum dan dalil dalam persoalan agama. Setelah mengetahui jawaban dari yang ia
tanyakan, maka kewajibannya adalah mengikutinya.
2. Kemudian ayat yang serupa dengan ini
firman Allah SWT:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ
فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ﴿التوبة :١٢٢﴾
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang
mukmin itu semuanya pergi ke medan perang. Mengapa setiap golongan dari mereka
tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi perinagatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya
( Attaubah : 122)
Dalam ayat ini Allah melarang semua orang
muslim untuk keluar berperang ke medan jihad. Namun Allah SWT memerintahkan
agar sebagian dari setiap kaum untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan
tidak ikut ke medan jihad. Sehingga jika saudara mereka telah kembali dari
jihad, mereka bisa menjelaskan agama kepada mereka dan memberikan fatwa
terhadap halal dan haram. Mereka mengikuti fatwa dan penjelasan mereka yang
tinggal dirumah, mempelajari agama dan tidak pergi berperang. Bukankan ini
bentuk dari sebuah ketaqlidan?
Dalil Kedua: Ijma'
sahabat
Para sahabat rodiyallahu 'anhum, memiliki
kapasitas yang berbeda-beda dalam tingkatan ilmu. Tidaklah semua dari sahabat
memiliki kemampuan untuk berijtihad. Akan tetapi hanya sedikit dari jumlah mereka
yang bisa berijtihad dan berfatwa.
Rasulullah saw telah mengirim orang yang
faqih dari kalangan sahabat ke daerah- daerah kekuasaan islam untuk menjelaskan
islam dan memberikan fatwa dalam urusan agama. Mereka mengikuti
utusanRasulullah saw ini dalam beramal, bermuamalah, beribadah dan dalam
praktek hukum halal dan haram secara umumnya. Inilah salah satu gambaran
taqlidnya para sahabat kepada utusan Rasulullah saw dalam beribadah dan
beragama. Terkadang mereka menemukan sebuah permasalahan yang tidak ditemukan
dalam Al-quran dan sunnah, maka para utusan ini berijtihad dalam hal itu dan
sahabat yang tidak mampu berijtihad, taqlid kepada pendapat mereka yang mengetahui.
Imam Al-Ghozali dalam kitab "Al Mustashfa", pada bab taqlid dan
istifta' menjelaskan dalil wajibnya bagi orang awam untuk taqlid kepada imam
mujtahid adalah amalan dan ijma' sahabat dalam bertaqlid kepada mujtahid dari
kalangan mereka.
Dalam hal ini seorang mujtahid dari sahabat memberikan fatwa kepada orang yang
awam terhadap suatu persoalan dan tidak memerintahkan mereka untuk berijtihad
sendiri. Apa yang diamalkan oleh para sahabat ini adalah sebuah hal yang telah
dipahami dan telah mutawatir dikalangan ulama dan orangawam bahwa sebagian
mereka berijtihad dan sebagian lain taqlid.
Pada zaman sahabat yang bisa dijadikan sandaran dalam berfatwa, mengetahui
fiqih, riwayat hadis dan mampu beristinbath, hanyalah sebagian kecil saja dari
mereka dan yang lain taqlid mengikuti para mujtahid ini. Diantara yang terkenal
adalah Al-Khulafaur Rasyidun, Abdullah bin Masud, Abu Musa Al Asy'ari, Muaz Bin
Jabal, Ubai bin Kaab, dan Zaid bin Tsabit. Adapun Muqallid dalam kalangan
sahabat dalam bermazhab dan mengambil fatwa jumlah mereka sangat banyak.
Dalil Ketiga: Dalil 'Aqli
Bagi orang awam, diberikan dalil atau
tidaknya bagi mereka sama saja. Sebab kalaupun diberikan dalil mereka juga
tidak akan memahami dengan benar dan mengetahui cara beristinbat dengan ayat atau
dalil tersebut. Maka kewajiban orang awam adalah taqlid kepada mujtahid, yang
tentunya mereka lebih bisa memahami nash dan telah memenuhi syarat serta
kelegalan dalam hal berfatwa. Jika saja orang awam ini bisa memahami dan
beristinbat dari dalil yang ada dan dengan syarat-syarat tertentu, tentunya
mereka tidak lagi dikatakan awam, akan tetapi mereka dikatakan seorang
mujtahid.
Imam As-syatibi berkata: "Fatwa seorang Mujtahid
bagi seorang awam seperti dalil, sebagaimana seorang mujtahid berdalil dengan
Al-quran dan sunnah". Maksudnya, ada atau tidak adanya wujud
dalil bagi muqollid sama saja. Sebab mereka juga tidak akan memahaminya. Dalam
hal ini orang awam tidak boleh mengambil istinbat hukum sendiri dari dalil yang
ada, karena tidak memiliki ilmu tentangnya. Maka kewajiban mereka adalah
bertanya kepada orang yang mengetahui sebagai mana firman Allah SWT:
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿الانبياء :٧﴾
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang
memiliki ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Al Anbiya: 7).