A. Pembagian
Hadits Dari Segi Kuantitas
Hadits
Berdasarkan kuantitas dibagi menjadi 2:
1.
Hadits
Mutawwatir
Ialah
hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, jumlah pada seluruh sanadnya
banyak, tercegah sepakat berbohong, dan
didapat melalui indera. Kitab hadits Mutawatir adalah Asy-Suyuthiy dan Muhammad
bin ja’far al-kataniy. Hukum Hadits Mutawatir hukumnya adalah memberi faedah
ilmu secara yakin.
Macam-macam Hadits Mutawatir
(a.) Mutawatir Lafdzi
Yaitu lafadz dan maknanya sama.
Contoh hadits riwayat abu Dawud
tentang orang yang mendustakan nama Allah maka ia akan tinggal dineraka.
(b.) Mutawatir Maknawi
Yaitu Lafadz berbeda tetapi
maknanya sama
Contoh: Hadits riwayat bukhori
tentang mengangkat kedua tangan dalam berdo’a ketika sholat jum’at agar turun
air hujan dengan hadits riwayat muslim yang juga tentang mengangkat kedua
tangan ketika berdoa.
2.
Hadits
Ahad
Ialah
hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.Macam-macam hadits Ahad:
(a.) Hadits Masyhur yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih sekalipu dalam tingkatan sanad dan
tidak mencapai derajat mutawatir.
Contoh
hadits tentang pencabutan ilmu yang ditandai dengan wafatnya ulama’.
(b.) Hadits Aziz ialah hadits yang
sedikit sanadnya.
Contoh
hadits tentang tidak sempurnanya iman.
(c.) Hadits Gharib ialah hadits yang
hanya ada satu perawi dalam satu tingkatan. Macam-macam hadits gharib ada 2
yaitu: Gharib mutlak (perwai menyendiri) dan Gharib Nisbiy (relative/ diriwayatkan
oleh orang yang siqqah untuk penduduk tertentu). Nizbiy dibatasi oleh 3 hal
yaitu Gharib pada perawi tertentu, Gharib dalam sifat kesiqahan perawi, dan
Gharib pada negeri tertentu.
B. Pembagian
Hadits dari segi Kualitas
Para
ulama’ membagi hadits dari segi kualitas menjadi 2 yaitu hadits maqbul (hadits
Shahih dan hadits hasan) dan hadits
mardud (hadits dhaif). Yang dimaksud dengan hadits maqbul ialahhadits yang memenuhi syarat-syarat
penerimaan yaitu sanadnya bersambung,
rawi yang adil, dhabith, dan matannya tidak syad dan tidak mengandung illat.
Hadits mardud ialah kebalikan dari hadits maqbul yaitu hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat penerimaan.
1.
Hadits
Shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, rawi yang adil, dan dhabith tidak
syad dan tidak mengandung illat. Syarat-syarat hdaits shahih ialah:
(a.) Sanadnya bersambung
Maksudnya tidak bersambung ialah
tiap-tiap perawi menerima riwayat hadits dari perawi yang terdekat
sebelumnya.Dan terus-menerus berlangsung sampai sanad terakhir sampai kepada
para tabi’in dan sampai kepada para sahabat dan sampai kepada Rasulullah.
Cara mengetahui hadits tersebut
bersambung atau tidak dengan melalui mencatat semua nama periwayat sanad yang
diteliti, mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat kemudian meneliti
kata yang berkaitan dengan para perawi
dengan perwai yang terdekat.
(b.) Perawi yang adil
Yaitu beragama islam, bmukallaf,
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya, memiliki rasa malu.
(c.) Perawi yang dhabith
Ialah orang yang kuat hafalannya
tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan hafalannya. Dhabith
dibagi menjadi 2 yaitu:
ü
Dhabith
Sadran adalah terpeliharanya ingatan sejak menerima hadits sampai meriwayatkan
kepada orang lain.
ü
Dhabith
Kitaban adalah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
(d.) Tidak Syad (janggal)
Yaitu hadits yang matannya tidak
bertentangan dengan hadits lain yang lebih siqqah.
(e.) Tidak mengandung illat
Yaitu hadits yang mengandung
kecacatan, kesamaa, dan keragu-raguan.
Hadits shahih dibagi menjadi 2yaitu
:
(a.) Hadits Shahih Lidzatih adalah
hadits yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria kesahihan dan tidak
memerlukan penguat dari lainnya.
(b.) Hadits Shahih Lidzaatihi adalah
hadits yang bisa menjadi kuat dengan adanya hadits yang sama dari jalur lain,
yang serupa atau lebih banyak, sekalipun lebih rendah.
Contoh
hadits Shahih tentang bersiwak ketika hendak sholat.
1.
Hadits
Hasan yaitu hadits yang baik atau yang sesuai dengan keinginan jiwa.Hadits
hasan memiliki kesamaan dengan hadits shahih, hanya saja pada ingatan atau daya
hafalan pada hadits shahih sempurna dan pada hadits hasan kurang sempurna. Syarat-syarat
hadits Hasan ialah
(a.) Sanadnya bersambung
(b.) Perwai yang adil
(c.) Perawi dhabith dibawah kedhabitan
hadits shahih
(d.) Tidak syad
(e.) Tidak cacat
Hadits
hasan dibagi menjadi 2 yaitu :
(a.) Hadits Hasan Lidzatih yaitu
hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabith meskipun
tidak sempurna, dari awal sampai akhir sanad tanpa ada keganjilan dan cacat
atau rusak
(b.) Hadits Hasan Lighairihi yaitu
hadits yang sanadnya tidak sunyi dari perawi yang tidak dikenal atau jelek
hafalannya. Hadits ini memenuhi 3 syarat yaitu perwai tidak pelupa, tidak
tampak ada kefasikan pada perawi, dan hadits yang diriwayatkan telah dikenal
luas.
Contoh
hadits hasan riwayat Tirmidzi tentang mahar dua sandal
2.
Hadits
dhaif Ialah hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat. Ada sepuluh macam
kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun kedhabitannya yaitu
dusta, tertuduh dusta, fasiq, banyak salah, lengah dalam menghafal, banyak
wahamnya, menyalahi riwayat yang lebih siqqah, tidak diketahui identitasnya,
penganut bid’ah, tidak baik hafalannya.
Sanadnya
yang tidak bersambung artinya gugur pada sanadnya, gugur pada sanad terakhir, 2
orang rawi atau lebih secara berurutan, rawinya yang digugurkan tidak
berturut-turut.
(f.) Hadits
Dhaif dan Hadits Maudhu’
1. Hadits
Dhaif ialah hadits yang kehilangan
satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits
shohih atau hadits hasan. Ke-dha’if-an hadits disebabkan pada beberapa hal,
yaitu:
(a.) Sanadnya terputus
(b.) Periwayatnya yang cacat
(c.) Susunan redaksinya yang bermasalah
(d.) Kandungan maknanya tidak jelas
Pembagian hadits
dhaif dilihat dari segi kehujjahan:
(a.) Hadits dha’if ringan. Maksudnya hadits yang
kedh’ifannya dapat berubah kualitasnya karena mendapat dukungan yang menguatkan
dari hadits-hadits shahih lainnya yang kandungan maknanya sama, sehingga
berubah menjadi hadits hasan li ghairihi.
(b.) Hadits dha’if
berat. Maksudnya adalah hadits dha’if yang kedha’ifannya bersifat paten, tidak
berubah kualitasnya walau sebanyak apa pun hadits shahih lainnya yang semakna
dan mendukungnya.
2. Hadits Maudhu’
Ditinjau
dari sisi bahasa, hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata وضع – يضغ. Kata وضع
memiliki beberapa makna, yaitu menggugurkan, meninggalkan dan mengada-ada dan
membuat-buat. Menurut istilah hadits maudhu’ adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan maupun
taqrir, secara rekaan atau dusta semata-mata. Latar belakang kemunculan hadits Maudhu diantaranya:
(a.)Kepentingan
politik dan kekuasaan
(b.) Mengeruhkan
dan merusak kemurnian ajaran agama
(c.) Membangkitkan semangat beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
(d.) Motivasi menarik simpati dengan cara membuat
kisah-kisah menarik para pendengar
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat
dilihat dari ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
Ciri-ciri yang terdapat pada matan, antara lain:
(a.) Rawi tersebut terkenal berdusta
dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya
(b.) Pengakuan dari periwayat sendiri
(c.) Kenyataan sejarah, mereka tidak
mungkin bertemu
(d.) Keadaan rawi dan faktor-raktor
yang mendorongnya membuat hadits maudhu’.
(G.)Takhrij
Takhrij menurut bahasa berasal
dari kata takhriij yang mengandung
arti mengeluarkan dapat juga diartikan meneliti, atau menerangkan.Sedangkan
takhrij menurut istilah atau terminologis ialah menunjukkan sumber hadits
aslinya, dimana hadits tersebut ditemukan lalu menjelaskan derajat hadits
tersebut.Misal kita menemukan sebuah hadits dan kemudian kita meneliti dari
mana kitab itu ditemukan.
Takhrij sangat berguna bagi yang
ingin mempelajari hadits.Diantaranya :
1.
Memperkenalkan
hadits pada suumber aslinya
2.
Menambah
susunan sanad lebih jelas sehingga dapat diketahui riwayat munqathi’
3.
Menejlaskan
keduddukan hadits dan dapat mengetahui rowi dengan benar
4.
Dapat
menghilangkan keraguan dan kekeliruan yang dialami perawi
5.
Dapat
memperjelas antar kalimat gharib dalam sanad
Berikut
metode- metode tahkrij :
1.
Melalui
matan pertama dalam hadits
Dengan
melihat kata pertama, kita dapat memperkuat pengetahuan kita tentang kata-kata.
Dalam
memerlukan 3 jenis kitab penunjang yaitu:
(a.) Kitab yang khusus memuat hadits
yang terkenal dan beredar luas dari mulut kemulut
Contoh:
kitab Mu’jam Al-kabir
(b.) Kitab yang memuat hadits yang
tersusun sesuai huruf mu’jam (kitab yang disusun hadits-hadits berdasarkan
musnad sahabat, guru dan seterusnya.
Contoh
kitab ini ialah: Al-mu;jam Al-kabir, Al-mu’jam Al-Ausath, Al-mu’jam As-shogir
karangan Abu Al-Qosim Sulaiman bin Ahmad At Thobrani (360 H), Mu’jam
Ash-Shohabah karangan Ahmad bin Ali Al-Hamdani (394 H), Mu’jam Ash Shohabah
karanagan ya’la Ahmad bin Ali Al-mushili (307 H).
(c.) Kunci dan daftar isi yang disusun
oleh para ulama’ untuk kitab-kitab tertentu.
خ= Bagi Al-bukhori Muslim-Al Bukhori=ق
Turmudzi=ت Muslim=م
Abu
Daud=ذ nasaie-An=ن
Ibnu
Majah=ه Hakim=ك
2.
Melalui
kata yang jarang digunakan dalam matan hadits. Caranya adalah dengan
menggunakan kitab mu’jam seperti muwatta’,
Musnad ahmad, Kutub sittah dll.
3.
Melalui
perawi hadits. Dengan cara mencari perawi pertama pada hadits. Dengan
menggunakan kitab musnad atau kitab mu’jam.
4.
Melalui
tema (judul) hadits. Dengan cara mengetahui tema hadits dan kemudian
menyimpulkan tema hadits tersebut.
5.
Berdasarkan
status hadits. Dengan cara melakukan salah satu metode dari yang telah kita
bicarakan terdahulu.
(g.) Metode
Dalam Memahami Hadits
Perlu diketahui dalam memahami
hadits dibutuhkan metode atau cara untuk memahami sebuah hadits. Diantaranya
ialah:
1.
Metode
tahaliliy (analitis)
Metode ini ialah metode dengan
cara memahami hadits rasul dari seagala aspek yang terkandung dalam hadits
serta menerangkan makna-makna yang tercakup dalam hadits. Metode ini memliki
kelemahan dan kelebihan. Kelemahannya ialah menjadikan petunjuk hadits bersifat
parsial/pecah-pecah serta melahirkan Syarh yang subjektif .kelebihannya yaitu
ruang lingkup pembahasannya sangat luas serta memuat berbagai ide. Hadits ini
memiliki ciri-ciri :
(a.) Menjelaskan mengurutkan Kata demi kata.
(b.) Memaparkan dan menguraikan
pemahaman
(c.) Menjelaskan hubungan antara satu hadits
Berikut kitab- kitab yang
menggunakan metode tahaliliy:
(a.) Kitab Fath al Boro bi Syarh Shahih
Al-Bukhory oleh ibnu Hajaral Ats qalany
(b.) Irsyad Al-soro li Syarh Shahih
Al-Bukhory oleh Al-Abbas Syihab ad Din Ahmad bin Muhammad Al Qastalani
(c.) Al-kowakib Ad Daror Ri Fi Syarh
Shohih Al-Bukhoty oleh syams ad Din Muhammad bin Yusuf bin ali Al-kirmani
(d.) Syarh Al-Zarqoni ‘ala Muwatta’
Al-Imam Malik oleh Muhammad bin Abd Al
baqi’ bin Yusuf Al-Zarqani
2.
Metode
Ijmali (global)
Metode
ini ialah metode yang menjelaskan dan menerangkan hadits-hadits dengan urut
sesuai syarh dan ringkas.Metode ini memiliki kelebihan yaitu praktis dan padat
serta bahasa yang mudah dimengerti.Kekurangannya yaitu menjadikan petunjuk
hadits pecah-pecah dan ruang lingkup tidak memadai. Kitab yang menggunakan
metode ini ialah Syarh As-Suyohiy Li As Sunan An Nasa’I oleh Jalal Ad Din As
Suyuthi, kitab Qut Al-Mughtazi ‘ala Jami’at turmudzi oleh Jlal ad Din
as-Suyuthi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud oleh Muhammad bin Asyraf bin
Ali Haidar as Siddiqi al A’zim al Abadi. Ciri-ciri hadits ini ialah:
(a.) Pen-syarh langsung melakukan
penjelasa hadits dari wal sampai akhir secara global tanpa perbandingan.
(b.) Penjelasan bersifat umum dan
sangat ringkas
(c.) Penjelasan yang sangat luas
3.
Metode
Muqaran (komparatif)
Metode muqarran ialah metode
dengan cara membandingkan dua hal yaitu mengetahui isi hadits dengan
pendapat-pendapat ali hadits.Kelebihan hadits ini ialah memberi wawasan yang
luas serta sangat berguna untuk mereka yang ingin mengetahui hadits. Kekurangannya
ialah tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula serta tidak dapat diandalkan
untuk menjawab permasalahan social kitab yang menggunakan metode ini ialah kitab Shohih Muslim bi Syarh
An-Nawowiy oleh Nawawi dan kitab Umdah Al-Qoro’ Syarh Shohih Al-Bukhary oleh
Badr ad Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad.. Ciri-ciri metode ini:
(a.) Membandingkan berbagai hal
(b.) Pensyarh menggunakan perbandingan penilaian perawi
(c.) Menggunakan metode analisis
redaksional
(d.) Membandingkan kandungan makna
dari masing-masing hadits yang dibandingkan
4.
Metode
Maudho’I (tematik)
Metode maudho’I ialah metode yang
digunakan dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang bertebaran dan hadits-hadits
yang bertebaran kemudian disusun sesuai dengan sebab-sebab munculnya pemahaman
dengan penjelasan, pengkajian dan penafsiran. Kelebihan metode ini ialah lebih
focus dan mendalam pembahasannya dan dapat diterapkan untuk menjawab
persoalan-persoalan, referensi lebih
luas. Kekurangannya metode maudho’I ialah memenggal hadits dan membatasi
pembahasan hadits. Ciri- ciri metode ini ialah:
(a.) Menghimpun hadits-hadits yang
dibicarakann dalam satu topik
(b.) Memahami makna dari masing-masing
hadits
(c.) Memahami hadits secara
komprehensif
(H.)Pendekatan
Dalam Memahami Hadits
Perlu kita ketahui bahwa dalam
belajar ilmu hadits butuh pemahaman yang cukup untuk mempelajarinya. Tak hanya
membaca dan menghafal saja, tapi setidaknya kita perlu pemahaman
yang cukup supaya ilmu hadits
yang kita pelajari cepat terserap oleh pikiran kita dan tentunya dapat
melakoninya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, memahami sebuah hadits
membutuhkan pemahaman dengan melalui pendekatan. Pendekatan tersebut yaitu:
1.
Pendekatan Bahasa
Pendekatan bahasa adalah suatu
pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa dalam memahami Hadits Nabi SAW.
Pendekatan
bahasa dalam memahami hadits dilakukan apabila dalam sebuah matan hadits
terdapat aspek- aspek keindahan bahasa (balaghoh) yang memungkinkan mengandung
pengertian majazi (metafora) sehingga berbeda dengan pengertian haqiqi
Contoh:
حد ثنا خلا د بن يحي قال حد ثنا سفيا ن عن ابي بردةبن
عبدالله بن ابي بردةعن جده عن
ابي موسي عن النبي صلي الله عليه وسلم قال ان المؤ من
للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا
وشبك اصا بعه (رواه مسلم)
Artinya;
“
sesungguhnya orang yang beriman satu memperkokoh terhadap bagian lainnya, dan
jari jemarinya berjalinan.”( H.R. Bukhari dari Abu Musa)
حدثنا الحسان بن علي الخلال غير واحدقالوا حدثنا ابو اسامة
عن يريدبن ابي بردة عن ابي موسي الاشعري قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم المؤمن
للمؤ من كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الترمذي)
Artinya;
“ sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman
lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian
lainnya.”(H.R. at turmudzi dari Abu Musa Al asy’ari)
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hadits Nabi sebagai suatu ucapan, perbuatan,
taqrir, dan hal ihwal, memiliki unsur keindahan bahasa yang tersimpul dalam
susunan redaksinya yang mengandung unsure balaghoh yang merupakan titik pangkal
penilaian keindahan bahasa.
2.
Pendekatan Historis
Pendekatan
Historis dalam memahami hadits adalah memahami hadits dengan memperhatikan dan
mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang
munculnya hadits. Contoh:
حدثنا اسما عيل بن عبدالله حدثني مالك عن نافع عن عبدالله
بن عمررضي الله عنهما انه قال ان اليهودجاؤا الي رسول الله صلي الله عليه وسلم ما
تجدون في التوراة في شاءن الرجم فقالوا تفضحهم ويجلدون قال عبدالله بن سلام كذبتم
ان فيها الرجم فاء توا بالتوراة فنشروها فوضع احدهم يده علي اية الرجم فقرآما
قبلها وما بعد ها فقال له عبدالله بن سلام ارفع يدك فرفع يده فاذا فيها اية الرجم
قالوا صدق يا محمد فيها اية الرجم فامر بهما رسول الله صلي الله عليه وو سلم فرجم
(رواه ابخاري)
“Telah
menceritakan kepadaku (Imam al Bukhori) Isma’il ibn Abdullah. Ia telah
mengatakan bahwa Malik telah menceritakan kepadaku yang ia terima dari Nafi;
dan Nafi’ ini menerima dari Abdullah ibn ‘umar r.a. yang berkata bahwa
sekelompok orang Yahudi datang kepada Rasulullah SAW. Sambil menceritakan
(masalah yang mereka hadapi) bahwa seorang laki-laki dan perempuan dari
kalangan mereka telah melakukan perbuatan zina. Kemudian Rasulullah menanyakan
kepada mereka;” Apa yang kamu temukan dalam kitab Taurat mengenai hokum
rajam?”, Mereka menjawab; “kami mempermalukan dan mendera mereka”. Kemudian Abdullah
ibn Salam berkata:” Kamu semua berdusta, sebab kitab Taurat itu ada hokum
rajam. Ambillah kitab Taurat!”, Dan Mereka menggelar kitab Taurat untuk dibaca,
tetapi salah satu diantara mereka meletakkan telapak tangannya tepat diatas
ayat rajam dan dan hanya dibaca ayat sebelum dan sesudahnya saja, Kemudian
Abdullah ibn Salam berkata lagi: “Angkat tanganmu”. Lalu orang itu mengangkat
tangannya dan saat itu tampaklah ayat rajam. Selanjutnya mereka
mengatakan:”Benar ya Muhammad bahwa dalam kitab Taurat ada ayat rajam. Kemudian
Rasulullah memerintahkan untuk melakukan hokum rajam tersebut…..”(H.R.Bukhori)
3.
Pendekatan Sosiologis
Yang
dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam pemahaman hadits Nabi adalah
memahami hadis nabi dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan
kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadits.
Contoh:
حد ثنا احمدبن يونس حدد ثنا عا صم بن محمد دسمعت ابي يقول
قال ابن عمر قال رسول الله صلي الله عليه وسلم لا يزال هذا الامرفي قريش ما بقي
منهم اثنان ن (رواه البخاري)
حد ثنا وكيع حد ثنا الاعمش عن سهل ابي الاسد عن بكير الجزري
عن انس قال كنا في بيت رجل من الانصار فجاء النبي صلي الله عليه وسلم حتي وقف فاخذ
بعضادة الباب فقال الائمة من قريشش ولهم عليكم حق ولكم مثل ذلك ما اذا اسرحموا
رحموا واذا حكموا عدلوا واذا عاهدوا وفوا فمن لم يفعل ذلك منهم فعليه لعنة الله
والملائكة والناس اجمعين (رواه احمد)
Jumhur
ulama memahami hadis ini secara tekstual, artinya persyaratan keturunan Quraisy
memang menjadu suatu keharusan bagi orang yang menjadi khalifah. Hal tersebut
berangkat dari peristiwa terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah di Saqifah Bani
Sa’idah.
Dari
pendekatan sosiologis terhadap hadis diatas dapat diketahui bahwa keturunan
Quraisy tidak dimaksudkan sebagai syarat mutlak bagi jabatan kepala negara yang
ditetapkan oleh Nabi, sehingga mengikat kepada umat secara abadi. Akan tetapi,
justru hadis tersebut menunjukkan bahwa syarat Quraisy adalah syarat keutamaan
(Afdlaliyah) yang ditunjukkan melalui keunggulan solidaritas kelompok dan
kapasitas kepemimpinannya. Jadi hadis-hadis tentang Quraisy diatas hanya
menyebut sebagian kelompok dari orang-orang yang berhak menjadi khalifah,
karena dibalik teks hadis(Melalui telaah sosiologis), ada dimensi keutamaan
yang dimiliki oleh orang-orang Quraisy, bukan tentang keabsahan pemimpin pada
quraisy.
4.
Pendekatan
sosio-historis
Pemahaman
hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami hadis-hadis dengan
melihat sejarah social dan setting social pada saat dan menjelang hadis
tersebut disabdakan.
Pendekatan
sosio-historis ini dapat diterapkan, misalnya dalam memahami hadis tentang
larangan perempuan menjadi pemimpin. Bunyi matan hadistersebut adalah sebagai
berikut:
لن يفلح قوم ولوا امرهم امراة (رواه البخارييي)
Jumhur
ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual.Mereka berpendapat
bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut pengangkatan perempuan menjadi kepala
negara, hakim pengadilan, dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang dalam
agama.Selanjutnya mereka menyatakan bahwa perempuan menurut syara’ hanya diberi
tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.Oleh karenanya, al khattabi
misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.
Namun
jika keadaan perempuan sudah dihormati dan mempunyai kewibaan serta memiliki
kualifikasi, maka memaksakan pemahaman hadis secara tekstual merupakan tindakan
yang kurang bijaksana.
5.
Pendekatan Antropologis
Pemahaman
hadis dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis dengan cara melihat
wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi
dan budaya yang berkembang dalam masyarakat pada saat hadis tersebut
disabdakan.
Contoh:
عن عبدالله بن مسعود قال سمعت النبي صلي الله عليه وسلم
يقول ان اشد النا س عذا با عندالله يوم القيا مة المصورون (رواه البخا ري و مسلم و
احمد)
“ Dari Abdullah bin Mas’ud berkata:” saya
mendengar Nabi SAW bersabda: “ sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan
paling dahsyat dihadapan Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis.
Banyak hadis Nabi yang menjelaskan larangan
melukis makhluk yang bernyawa karena kelak di hari kiamat dituntut untuk
memberi nyawa kepada lukisannya tersebut. Ada juga yang menyebut bahwa malaikat
tidak akan masuk ke rumah yang didalamnya ada lukisan bernyawa.
6.
Pendekatan psikologis
Yang
dimaksud dengan pendekatan psikologis dalam memahami hadis dengan memperhatikan
kondisi psikologis Nabi SAW dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis
tersebut disabdakan.
Contoh:
عن ابي موسي رضي الله عنه قال قالوا يا رسول الله اي الا
سلام افضل؟ قال من سلم المسلون من لسا نه ويده (رواه الخا ري و غيره)
Mereka para sahabat bertanya: Ya Rasulullah,
amalan islam yang manakah yang lebih utama?” beliau menjawab: “ yaitu orang
yang kaum muslimin selamat dari gangguan mulutnya dan tangannya.
عن ابي هريرة ان رسول الله صلي الله عليه و سلم سئل اي
العمل افضل فقال ايما ن بالله ورسله قيل ثم ماذا قال جها د في سبيل االله قيل ثم
ماذا قال حج مبرور (رواه البخاري و غيره)
“Bahwa
rasulullah SAW ditanya (oleh seseorang): Amal apakah yang paling utama?” beliau
menjawab “ beriman kepada Allah dan RasulNya. “ ( beliau) ditanya lagi: “
kemudian apa lagi,” Beliau menjawab, “ haji yang mabrur”.
Perbedaan
materi jawaban tersebut sesungguhnya bertolak dari kondisi psikologis orang
yang bertanya dan kondisi psikologi Nabi.Jawaban yang diberikan nabi sangat
memperhatikan kondisi kejiwaan orang yang bertanya. Oleh karenanya, jawaban itu
sebenarnya sesuai dengan kondisi keadaan psiklogis sang penanya. Pada saat sang
penanya adalah orang yang sering berbuat bohong dan lainnya, maka Nabi dalam
kpasitas sebagai rasul ingin membimbing dan menasihatinya agar ia menjaga mulut
dan tangannya. Pada waktu sang penanya adalah orang yang sibuk terus menerus
mengurus dunia, ketika waktu shalat tiba, ia tidak berhenti dari pekerjaan,
maka amal yang paling utama bagi penanya ini menurut Nabi adalah sholat pada
waktunya.